Oleh : Leli Subarnas
Apa itu Tapering? Isu mengenai tapering off atau tapering akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan penting didunia keuangan, khususnya para investor di sektor pasar modal (capital market). Pertanyaannya adalah mengapa isu ini menjadi sangat sensitif bagi para investor? Sebelum membahas pengaruh tapering pada perekonomian dan pasar keuangan di Indonesia khususnya, perlu dijelaskan sedikit mengenai apa yang dimaksud dengan Tapering.
Secara singkat pengertian tapering adalah kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) mengurangi stimulus ekonomi yang dilakukan untuk menahan laju inflasi yang cenderung meningkat dalam proses pemulihan ekonomi. Tapering ini merupakan kebijakan yang berlawanan dengan kebijakan yang disebut Quantitative Easing.
Untuk lebih jelasnya akan sedikit disampaikan mengenai apa itu kebijakan Quantitative Easing (QE). Pada saat ekonomi Amerika Serikat sedang mengalami kelesuan bahkan cenderung resesi, The Fed melakukan kebijakan pemberian stimulus yang disebut dengan Quantitaive Easing (QE). Melalui kebijakan ini, The Fed men-supply Dollar ke dalam sirkulasi ekonomi Amerika Serikat dengan cara membeli Surat Berharga Pemerintah Amerika Serikat (US Treasury) dan Obligasi Korporasi Jangka Panjang (Mortgage Back Securities) secara besar-besaran. Dalam kebijakan ini biasanya diiringi dengan kebijakan suku bunga rendah (bahkan nyaris 0%).
Kebijakan ini akan mendorong pada kondisi suku bunga pinjaman (cost of borrowing) menjadi rendah. Rendahnya biaya pinjaman, membuat perusahaan-perusahaan lebih mudah untuk memperoleh pendanaan untuk membiayai proyek-proyek baru yang secara otomatis akan meningkatkan kebutuhan tenaga kerja (menurunkan tingkat pengangguran). Meningkatnya jumlah pekerja, akan mendorong kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa yang bersumber dari spending atau pengeluaran masyarakat. Kenaikan permintaan barang dan jasa ini akan direspon oleh perusahaan dengan menaikkan kapasitas produksinya dan selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Siklus ini akan terus berlanjut sampai pada suatu titik tingkat inflasi akan meningkat.
Kebijakan Tapering ini dilakukan oleh The Fed dengan cara mengurangi pembelian Surat Berharga Pemerintah dan Obligasi Korporasi secara gradual seiring dengan membaiknya indikator ekonomi seperti tingkat inflasi yang sudah menuju keseimbangan, tingkat pengangguran yang mulai normal, hingga pemulihan tingkat pinjaman atau kredit yang menandakan perekonomian mulai bergairah.
Hubungan Tapering dengan Ekonomi dan Pasar Keuangan Indonesia
Kenaikan inflasi yang terjadi akibat berputarnya mesin ekonomi di Amerika Serikat, harus dikurangi lajunya supaya tidak terjadi overheating. Tapering menjadi satu cara untuk mengurangi supaya laju perputaran mesin ekomomi tidak terlalu kencang. Kebijakan lain yang diambil otoritas moneter ketika inflasi sudah mulai dianggap tinggi adalah dengan menaikkan suku bunga yang selanjutnya akan diikuti dengan kenaikan yield Surat Berharga Pemerintah Amerika Serikat.
Meningkatnya yield dari instrumen Surat Berharga Pemerintah Amerika Serikat, akan mengundang para investor untuk berinvestasi di instrumen tersebut yang dianggap cukup menarik dan lebih aman. Kondisi ini akan membuat para investor asing yang saat ini sedang berinvestasi di pasar keuangan negara-negara Emerging Market, termasuk di Indonesia melakukan rebalancing terhadap portofolio investasi mereka.
Para investor asing ini akan melakukan rebalancing portfolio atau melakukan risk-off, melalui pelepasan investasi mereka di Indonesia dengan cara melakukan penjualan instrumen surat berharga (saham dan atau Surat Berharga Negara/Obligasi) yang mereka miliki, yang dianggap memiliki risiko yang lebih tinggi, untuk diinvestasikan di Surat Berharga Pemerintah di Amerika Serikat, yang dianggap risikonya lebih rendah.
Apabila banyak investor asing menjual saham-saham yang mereka miliki dalam jumlah yang signifikan dan waktu yang relatif bersamaan, akibatnya harga saham dari emiten-emiten (perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia) akan turun yang menimbukan efek menurunkan pada Index Harga Saham Gabungan (IHSG). Demikian pula dengan pasar Surat Berharga Negara/Obligasi, jika investor asing ramai-ramai menjual Surat Berharga Negara/Obligasi yang mereka miliki juga akan mengakibatkan harga Surat Berharga Negara/Obligasi menjadi turun.
Penjualan aset-aset investasi para investor asing di Pasar Keuangan Indonesia dan mengalihkannya menjadi Investasi pada Surat Berharga Pemerintah Amerika Serikat tentunya akan menimbulkan aliran modal keluar (capital ouflow). Jika aliran dana keluar ini jumlahnya cukup besar akan dapat menimbulkan guncangan pada Pasar Keuangan Indonesia.
Dampak dari kebijakan tapering ini tidak hanya akan berpengaruh pada instrumen pasar modal, tapi juga akan berpengaruh pada nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Mekanismenya bisa digambarkan sebagai berikut. Untuk Kembali berinvestasi pada instrumen Surat Berharga Amerika Serikat, para investor asing membutuhkan banyak mata uang Dollar amerika, sementara hasil penjualan Surat Berharga (Saham dan Obligasi) yang mereka miliki di Indonesia diterima dalam mata uang Rupiah. Selanjutnya Rupiah ini akan mereka jual dan dikoversi menjadi Dollar Amerika. Meningkatnya permintaan Dollar Amerika Serikat disatu sisi secara otomatis akan meningkatkan penjualan mata uang Rupiah disisi lain, akibatnya mata uang Dollar Amerika Serikat akan menguat terhadap mata uang Rupiah, atau sebaliknya mata uang Rupiah melemah terhadap Mata Uang Dollar Amerika Serikat.
Dampak Tapering 2013 Vs 2021
Jika merujuk pada kejadian tapering tahun 2013 lalu, dampak tapering saat itu terasa sangat signifikan bagi Perekonomian dan pasar keuangan Indonesia. Mata uang Rupiah mengalami pelemahan yang cukup dalam, dari sekitar Rp 9.700 per Dollar Amerika Serikat pada Mei 2013 terus melemah sampai pada level terendah yaitu di September 2015 menjadi sekitar Rp. 14.700 per Dollar Amerika Serikat atau mengalami pelemahan lebih dari 50%. Demikian pula pada Indeks harga saham gabungan (IHSG), dampak dari tapering tantrum tahun 2013 membuat IHSG jatuh dari Rp. 5.200an sekitar Rp. 4.200 pada akhir tahun 2013.
Untuk tahun 2021, menurut Gubernur Bank Indonesia, efek tapering diperkirakan tidak akan terlalu berat seperti tahun 2013 lalu. Ada tiga kondisi yang memungkinkan Efek tapering tahun ini tidak separah tahun 2013, yaitu:
- Komunikasi dari The Fed ke market relatif lebih clear terkait dengan kerangka kerja dan kebijakannya, sehingga pengaruh kebijakan tapering kali ini relatif sudah tergambarkan pada harga surat berharga di Indonesia (Priced- in)
- Cadangan Devisa Bank Indonesia tahun ini sebesar USD 137,4 miliar (Juli 2021), jauh lebih besar dibanding Cadangan Devisa tahun 2013 lalu sebesar USD 98,1 miliar.
- Bank Indonesia sudah memiliki kebijakan Triple Intervention untuk mengantisipasi pelemahan Rupiah dan penurunan harga Surat Berharga Negara, yaitu pertama intervensi langsung pada pasar spot untuk menahan pelemahan Rupiah supaya tidak lebih dalam, kedua intervensi dalam pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) di pasar derivatif valas domestik, ketiga intervensi pembelian Surat Berharga Negara yang dilepas investor asing.
Selain itu posisi kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara saat ini sudah jauh berkurang dibanding dengan posisi tahun 2013 lalu. Tahun ini porsi kepemilikan asing sebesar 22,82% pada juni 2021 jauh lebih rendah dibanding 32,54% pada juni 2013.
Penutup
Pada hari Rabu (3 November 2021) waktu setempat, atau tanggal 4 November 2021 waktu Indonesia, Federal Reserve (The Fed) telah mengumumkan bahwa Tapering akan dilaksanakan pada bulan November ini. The Fed akan memangkas pembelian aset sebesar USD 15 miliar per bulan, dari USD 120 miliar menjadi USD 105 miliar. Sedangkan untuk Desember akan berkurang lagi USD 15 miliar menjadi USD 90 miliar.
Pengumuman berlakunya tapering 2021 sudah diketok palu. Pasar keuangan sejauh ini tidak terlalu reaktif dalam merespon pengumuman tersebut. Ini menunjukkan bahwa imunitas Ekonomi dan Pasar Keuangan Indonesia semakin baik dalam mengantisipasi kebijakan-kebijakan dari Negara-negara maju yang mempengaruhi perekoniam Global. Semoga ini menjadi awal dari kebangkitan Ekonomi dan Pasar Keuangan Indonesia, setelah terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Stabilitas Pasar Keuangan Indonesia akan sangat diperlukan untuk membantu Institusi-institusi seperti Dana Pensiun dalam menyusun rencana investasi untuk memperoleh hasil yang optimal, mengingat sebagian besar aset Dana Pensiun banyak yang tertanam pada instrumen keuangan baik pasar modal maupun pasar uang. Semoga dengan semakin baiknya perekonomian Indonesia akan memberi dampak positif bagi Dana Pensiun BRI.
Jakarta, 9 November 2021.