Staf Ahli Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI), Bambang Sri Muljadi, menilai bahwa minat masyarakat Indonesia untuk menjadi peserta dana pensiun masih sangat rendah. Hal ini terutama dialami pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dimana DPLK membutuhkan partisipasi secara suka rela oleh peserta dana pensiun.
Bambang menjelaskan bahwa rendahnya minat masyarakat terhadap dana pensiun tercermin dari tingkat penetrasi dana pensiun di Indonesia yang masih sangat terbatas. Penetrasi ini dihitung berdasarkan persentase aset dana pensiun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi dana pensiun di Indonesia pada 2023 hanya mencapai 6,73%. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Singapura yang mencapai 83,73% dan Malaysia sebesar 61,20%. Bahkan, di negara-negara maju, penetrasi dana pensiun jauh lebih tinggi, seperti Belanda yang mencapai 150,75%, Swiss 138,11%, dan Inggris 85,20%.
Hingga Oktober 2024, OJK mencatat terdapat 192 entitas dana pensiun yang beroperasi di Indonesia, yang terdiri dari Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyoroti rendahnya cakupan dana pensiun di Indonesia. Padahal, berbagai program pensiun telah lama tersedia di dalam negeri.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini, di antaranya partisipasi dan kontribusi dana yang masih rendah. Selain itu, banyak pekerja memilih menarik dana pensiun lebih awal karena berbagai alasan.
“Rendahnya cakupan perlindungan pensiun tidak terlepas dari empat tantangan utama yang dihadapi industri dana pensiun di Indonesia, yaitu partisipasi dan kontribusi yang rendah, tata kelola serta kebijakan investasi yang belum optimal, serta masalah penarikan dana pensiun yang dilakukan secara dini,” ujar Sri Mulyani, dikutip dari Kompas.com.